Persaingan antara Amerika Serikat dan China dalam pengembangan teknologi, khususnya di sektor semikonduktor, semakin memanas. Selama ini, chip buatan China sering dipandang tertinggal jauh dibandingkan dengan produksi perusahaan Amerika. Namun, CEO Nvidia Jensen Huang memiliki pandangan berbeda. Ia menilai bahwa jarak antara kemampuan teknologi chip kedua negara kini hampir tidak signifikan lagi.
Dalam podcast BG2 yang dipandu oleh investor teknologi Brad Gerstner dan Bill Gurley, Huang mengatakan bahwa “China hanya beberapa nanodetik di belakang Amerika Serikat.” Ungkapan tersebut menggambarkan betapa pesatnya perkembangan industri chip di Negeri Tirai Bambu hingga hampir menyamai kualitas produksi AS.
China, Kompetitor yang Tangguh dan Inovatif
Menurut Huang, pencapaian ini menunjukkan bahwa China bukan lagi sekadar pesaing, melainkan lawan tangguh yang harus dihadapi dengan strategi terbuka. Ia menilai pemerintah AS seharusnya memberi ruang bagi perusahaan-perusahaan teknologi Amerika untuk tetap berkompetisi di pasar China. Larangan bisnis yang diterapkan Washington, termasuk terhadap Nvidia yang berbasis di Santa Clara, California, dinilai justru dapat menghambat kemajuan bersama.
“Persaingan yang sehat akan menguntungkan kedua belah pihak, baik dari sisi ekonomi, inovasi, maupun pengaruh geopolitik,” ujar Huang.
Ia juga menyoroti budaya kerja di China yang dikenal dengan istilah “9-9-6”—bekerja dari pukul 9 pagi hingga 9 malam selama enam hari seminggu—sebagai salah satu faktor yang mempercepat laju inovasi di negara tersebut. Budaya ini mencerminkan semangat kerja keras dan kecepatan adaptasi industri teknologi China, yang menurut Huang, tidak terlalu terikat oleh kebijakan birokrasi pemerintah.
Huang menambahkan bahwa China kini tengah berupaya menciptakan pasar yang lebih terbuka untuk menarik investasi asing. “Mereka ingin perusahaan luar negeri masuk dan ikut bersaing di pasar mereka, sekaligus memperluas pengaruh ke seluruh dunia,” ujarnya. Ia berharap pendekatan tersebut dapat terus dipertahankan demi terciptanya kompetisi global yang sehat.
Budaya Kerja AS Dinilai Kurang Kompetitif
Pandangan serupa juga disampaikan oleh mantan CEO Google, Eric Schmidt. Dalam kesempatan berbeda, Schmidt menilai bahwa budaya kerja di perusahaan-perusahaan Amerika, terutama yang menerapkan sistem work from home (WFH), membuat AS sulit menandingi kecepatan inovasi China.
Menurut Schmidt, jika Amerika ingin tetap unggul di dunia teknologi, mereka perlu berani mengorbankan sebagian keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan (work-life balance). Ia mencontohkan pengalamannya saat bekerja di Sun Microsystems, di mana pembelajaran banyak terjadi melalui interaksi langsung di kantor bersama rekan-rekan yang lebih berpengalaman. “Bagaimana hal itu bisa terjadi jika semua orang bekerja dari rumah?” ujarnya.
Schmidt bahkan menilai bahwa fokus berlebihan pada work-life balance menjadi salah satu penyebab mengapa Google kini tertinggal dari pesaing seperti OpenAI dan Anthropic. “Google memutuskan bahwa pulang lebih awal dan bekerja dari rumah lebih penting daripada menang,” tegasnya.
Penutup
Baik Huang maupun Schmidt sepakat bahwa daya saing teknologi tidak hanya bergantung pada kecanggihan alat atau sumber daya, tetapi juga pada etos kerja dan keberanian bersaing. Dengan China yang semakin mendekati level AS dalam industri semikonduktor, pertarungan dominasi teknologi global tampaknya baru akan dimulai.




Recent Comments